Istana – Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada di Pulau Borneo

Hal-Hal Aneh DIDUnia 97 

eittsss belum selesaiii, ayo terbang ke Utara cusss ke Kalimantan yeyay :p :

1. Istana Alwatzikoebillah, Sambas, Kalimantan Barat
 
Bangunan ini merupakan istana Kesultanan Sambas  yang menjadi sentra pemerintahan di Sambas hingga berakhirnya kekuasaan kesultanan. Sebelumnya, Sambas merupakan Kerajaan Hindu yang di kemudian hari berkembang menjadi Kerajaan Islam. Raden Sulaiman merupakan Sultan Sambas pertama.

Setelah berhasil membangun Kota Bangun yang bahkan lebih maju dari Kota Lama, Raden Sulaiman memutuskan pindah ke Lubuk Madung yang merupakan lokasi pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Di lokasi inilah didirikan Istana Kesultanan yang hingga sekarang dikenal dengan nama Istana Alwatzikoebillah.
Namun, istana yang terlihat sekarang ini gres dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 hingga tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.

2. Istana Amantubillah, Mempawah, Kalimantan Barat
 
Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillah berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Berdasarkan catatan sejarah, istana ini dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761 setelah ia dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang berjulukan Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi Raja Mempawah, ia menyandang gelar  sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di kawasan Kerajaan Mempawah.

Belum lama dinobatkan menjadi Raja Mempawah, atas pesan tersirat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, ia memindahkan sentra pemerintahannya dari Sebukit Rama ke bersahabat Kampung Galahirang, di lokasi Sang Mufti bertempat tinggal. Di situlah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak.

Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim yang bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin. Setelah itu, Istana Amantubillah direhabilitasi beberapa kali hingga dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November 1922 pada masa Panembahan Mohammad Taufik Akkamadin.

Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kiri. Pada zaman dahulu, bagunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kanan yaitu tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan manajemen pemerintahan.

3. Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat
 
Keraton milik Kerajaan Ismahayana Landak ini dibangun pada masa pemerintahan raja ke-7, yakni Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Beliau merupakan raja terakhir di sentra kerajaan Ningrat Batur. Sepeninggal beliau, sang putra mahkota yang kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana ini memindahkan sentra kerajaan ke Mungguk Ayu. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar.

Kompleks istana ini mencakup Istana Landak (Istana Ilir), kediaman permaisuri (Istana Ulu) serta kediaman Neang Raja (Rumah Sultan). Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang menjadikan kerusakan pada beberapa bab istana. Perbaikan bangunan ini juga telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah. Kondisi kompleks keratin ketika ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.

4. Istana Kadriyah, Pontianak, Kalimantan Barat 
 
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie., keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di kawasan muara Sungai Kapuas. Ia melaksanakan dua ijab kabul politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I).  Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad (Sultan VI) merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia yaitu sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina menyebarkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada tanggal 24 Januari 1944, alasannya yaitu dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II (Sultan VII)  inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu, Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950.

5. Istana Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat
 
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pernah berdiri sebuah Kerajaan berjulukan Kubu, yang terbukti hingga ketika ini dengan adanya makam seorang pendirinya, Syarif Idrus bin Abdurrahman Al-Idrus yang menjadi raja kesultanan pada waktu itu.

Awal mula tempat ini disebut dengan nama Kubu dan kemudian menjadi Kesultanan Kubu alasannya yaitu benteng pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh, tapi benteng pertahanan ini masih cukup ampuh menahannya. Kedigdayaan benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah. Mereka terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan lagi bahwa musuh tetap mencari logika untuk menerobos benteng hinggapada suatu ketika, terjadilah serbuan mendadak dari orang-orang Siak. Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak Kubu menjadi kocar-kacir alasannya yaitu serangan itu.

Saat serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat jadinya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan keturunannya bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk menikah dan dinikahi, dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya.

Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang lebih setara dengan kawasan otonomi) semenjak tahun 1949-1958. Pada tahun 1958 itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri sebagai bab dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota Kubu kemudian menjadi ibukota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

6. Istana Paku Negara, Tayan, Kalimantan Barat
 
Istana Kerajaan Tayan ini dibangun oleh Gusti Jamal. Sampai ketika ini bangunan bersejarah ini masih dalam kondisi aslinya dan terawat dengan cukup baik. Beberapa benda bersejarah yang terdapat di dalamnya antara lain meriam, keris, busana kerajaan dan sajadah sembahyang raja. Istana ini dapat ditemui di Tayan, 70 kilometer dari kota Sanggau, berlokasi bersahabat dengan sungai Kapuas.

Adapun Kerajaan Tayan didirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). Anak Panembahan Dikiri yang pertama yaitu Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin yaitu Raja pertama yang memeluk agama Islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari Raja Mekah berupa sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.

7. Istana Surya Negara, Sanggau, Kalimantan Barat
 
Dari catatan sejarah, Kerajaan Sanggau didirikan oleh Daradante, pendatang dari Ketapang yang menikah dengan Babai Cingak dari suku Dayak Sanggau. Pusat pemerintahan berada di Desa Mengkiang (ke arah hulu sungai  Sekayam).  Kemudian pada tahun 1826 Sultan Ayub sebagai panembahan kala itu, memindahkan sentra kerajaan Sanggau ke Desa Kantuk. Keraton Surya Negara menjadi saksi bisu kebesaran masyarakat Sanggau kala itu.

8. Istana Al Mukarrammah, Sintang, Kalimantan Barat
 
Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu berjulukan Aji Melayu yang datang ke Nanga Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada kala ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan watu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji Melayu. Putung Kempat yaitu istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di kawasan ini juga ditemukan watu yang ibarat lembu serta makam Aji Melayu.

Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada sekitar kala ke-13. Demong Irawan mendirikan keraton di kawasan pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang. Mulanya kawasan ini diberi nama Senentang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan Senentang berkembang menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah watu yang ibarat buah kundur. Batu itu kini berada di halaman Istana Sintang.

9. Istana Muliakarta, Ketapang, Kalimantan Barat
 
Istana ini merupakan istana Kesultanan Matan Tanjungpura, kesultanan tertua yang terdapat di provinsi Kalimantan Barat. Istana ini juga dikenal dengan nama Istana Panembahan Gusti Muhammad Saunan, yang diambil dari nama salah seorang sultannya yang terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.

Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 kesultanan ini. Istana tersebut mengalami perombakan secara besar-besaran pada era pemerintahan sultan ke-16, yakni Gusti Muhammad Saunan. Beliau mengganti arsitektur istana dengan gaya arsitektur Eropa alasannya yaitu ia pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di negeri kincir angin tersebut.

Keanggunan istana yang lebih banyak didominasi konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin ini sudah dapat dilihat dan dirasakan dari jauh. Warna kuning yang merupakan lambang kewibawaan dan keluhuran kecerdikan pekerti dalam budaya Melayu, amat mendominasi dalam bangunan ini. Gapura yang artistik dan cantik dengan dominasi warna kuning mencerminkan simbol keramahan segenap penghuni istana dan membuktikan bahwa istana tersebut terbuka bagi semua kalangan.

10. Istana Kuning, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
 
Menurut catatan sejarah, Pangeran Adipatih Anta Kusuma yang mendirikan satu-satunya Kerajaan di Kalimantan Tengah ini, dan sekaligus menjadi Raja Pertama di Kesultanan Kutaringin. Pangeran ini  merupakan anak ke-empat dari Raja Banjar. Pendirian kerajaan ini berdasarkan perundingan dengan ayahnya untuk menghindari perebutan tahta dengan kakak tertua ia yang menjadi andal waris Kesultanan Banjar.
Sang pangeran pun memutuskan pergi untuk mendirikan kerajaan gres di kawasan tengah Kalimantan. Ketika berkelana di hutan bersama dengan prajuritnya, sang Pangeran terkejut ketika melihat puluhan pohon beringin besar yang tertata sangat rapih di pedalaman hutan, dan jadinya menjadi ide nama kesultanannya, yang berasal dari dua kata yaitu kuta (pagar) dan ringin (beringin).
Pada ketika kekuasaan Pangeran Ratu Imannudin, raja ke-sembilan kesultanan ini, sentra kerajaan diputuskan untuk dipindahkan ke kawasan baru, alasannya yaitu kawasan gres tersebut memiliki letak yang lebih strategis dan aman bagi sebuah kerajaan. 
Istana Kerajaan gres Kesultanan Kutaringin diberi nama dengan Istana Kuning. Istana Kuning terdiri dari empat bangunan yaitu: Bangsal (tempat penerimaan tamu kerajaan), Rumbang (tempat raja bersemedi), Dalem Kuning (pusat pemerintahan, dan tempat tinggal raja), dan Pedahiran (ruang makan kerajaan). 
Namun naas, pada tahun 1986 istana yang terkenal dengan pintu kerajaan berwarna kuning itu di bakar oleh seorang wanita absurd berjulukan Draya dan tidak meninggalkan satu barang pun.

11. Istana Sadurangas, Paser, Kalimantan Timur
 
Kerajaan Paser Belengkong dulunya berjulukan kerajaan “Sadurangas”. Adapun asal-usul keturunan raja-raja Pasir ialah Kuripan (Amuntai sekarang), yang menurut ceritanya pada pertengahan kala ke XVI (kira-kira dalam tahun 1565) di kawasan Kuripan ini mengalami pergolakan di kalangan pemerintahannya sendiri.

Kira-kira pada pertengahan tahun 1575 Masehi, Putri Betung diangkat dan diakui oleh penduduk sekitar sebagai raja pertama di Sadurangas (Pasir). Setelah Putri Betung dewasa, Ia dikawinkan dengan seorang raja dari tanah Jawa (Giri), berjulukan Pangeran Indera Jaya, yang datang dengan kapal layar yang membawa sebuah batu. Setelah perkawinan itu, maka watu yang dibawanya dari Jawa (Giri) lalu dibongkarnya, sehingga hingga sekarang watu tersebut masih tersimpan di Kampung Pasir (Benua) yang lebih dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang. Yang menurunkan silsilah raja-raja Pasir hingga ketika ini yaitu cucu Putri Benung yang berjulukan Adjie Anum.

Istana Kerajaan Paser Belengkong ini dibangun pada kala 18 oleh Sultan Ibrahim Khalilludin.

12. Kedaton Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
 
Istana milik Sultan Kutai Kartanegara ini terletak di sentra kota Tenggarong, Kalimantan Timur. Istana ini selesai dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2002 setelah dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
.
Meski telah resmi menjadi milik Sultan Kutai Kartanegara, istana gres ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan serta sebagai tempat pelaksanaan program seremonial oleh Sultan atau Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Arsitektur Kedaton Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai Kartanegara. Bentuk kedaton gres ini mengacu pada bentuk Keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan tatanan Singgasana Sultan yang dikelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di sebelah kiri singgasana terdapat Gamelan Jawa. Di dalam Kedaton juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas tabiat Kutai, Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan ini memiliki kekerabatan sejarah yang erat dengan suku Dayak dan kesultanan di Jawa.

13. Istana Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur
 
Kerajaan Gunung Tabur yaitu merupakan pecahan dari Kerajaan Berau. Pada awal kala 19, dua anak Sultan Berau, Sultan Muh. Zaenal Abidin, yakni Alimunddin Raja Alam dan Muh. Badaruddin bertikai memperebutkan tahta.

Kesempatan ini dipakai oleh Belanda untuk memecah Kerajaan Berau menjadi dua, yaitu Kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Muh Badaruddin, dan Kerajaan Sambaliung yang dipimpin oleh Sultan Alimuddin Raja Alam. Wilayah kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Sungai Segah. Sementara istana keduanya sempurna saling berhadapan.

Campur tangan Belanda pada kerajaan Gunung Tabur ini sangat tinggi. Terbukti dari lambang kerajaannya sangat dipengaruhi oleh gaya Eropa. Entah mengapa Kerajaan Gunung Tabur memilih dua macan sebagai simbol kerajaan, sedangkan di Kalimantan tidak ada harimau. Bukan hanya lambang kerajaan, namun kostum Sultan, pedang yang disandang dan meriam-meriam  menunjukkan betapa Belanda kuat sangat besar kepada Kerajaan Gunung Tabur. Hal ini mampu dimengerti alasannya yaitu wilayah Berau banyak menghasilkan batubara yang diharapkan Belanda untuk menjalankan kapal-kapalnya.

Istana Kerajaan Gunung Tabur yang ada ketika ini bukan bangunan asli lagi alasannya yaitu pada zaman pendudukan Jepang, istana asli telah hancur dibom oleh Sekutu. Pembangunan ulang yang benar- benar mempertahankan arsitektur dan bahan-bahan mirip istana aslinya juga mengubah fungsi istana menjadi sebuah museum yang diberi nama Museum Batiwakkal.
Adapun koleksi-koleksi yang berjumlah lebih dari 700 buah yang terdapat dalam museum ini berasal dari dua putri Sultan terakhir Kerajaan Gunung Tabur. Mengingat bahwa mereka tidak menikah, maka keduanya menyerahkan semua koleksi benda-benda kerajaan kepada pemerintah. Sebagai imbalan, pemerintah memberangkatkan mereka berdua untuk berhaji dan menunjukkan pensiunan berupa biaya hidup. Sampai ketika ini kedua putri tersebut tinggal di rumah megah yang dibangun persis di sebelah museum..

14. Istana Sambaliung, Berau, Kalimantan Timur
 
Keraton Sambaliung atau Istana Sambaliung di kabupaten Berau provinsi Kalimantan Timur yaitu salah satu bukti sejarah adanya kesultanan Sambaliung. Sepeninggal Sultan Sambaliung ke-8, yakni Sultan Muhammad Aminuddin pada tahun 1959, istana Sambaliung kemudian dialihfungsikan menjadi museum yang menyimpan banyak benda-benda bersejarah. 
Beberapa benda bersejarah yang dapat disaksikan oleh pengunjung yang datang antara lain yaitu sebuah tugu prasasti yang terbuat dari kayu ulin bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang ditulisi dengan huruf asli suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Koleksi lain yang cukup unik yaitu adanya buaya sepanjang 4 meter yang telah diawetkan dan dipajang dalam kotak beling di bab luar keraton. Keraton yang memiliki ciri khas desain bangunan China ini memiliki 12 kamar dan 1 ruang utama di bab tengah. 
Ruang utama di keraton ini biasanya dipakai untuk menggelar pertemuan-pertemuan tabiat dan pertemuan lainnya, juga sebagai tempat penobatan atau dukungan gelar aristokrat pada keturunan Sultan Sambaliung. Keraton ini juga memiliki 4 buah taman, yang ketiga diantaranya berada di bab depan. Di bab depan juga terdapat gapura yang dihiasi lambang keraton Sambaliung diatasnya.

Keraton yang konon pernah diserang dan dicoba untuk dihancurkan pada masa pendudukan Jepang dan Belanda ini masih berdiri kokoh di tepi sungai Kelay.

15. Istana Tanjung Palas, Bulungan, Kalimantan Timur
 
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama berjulukan Wira Amir gelar Amiril Mukminin dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 yaitu Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin. Negeri Bulungan bekas kawasan milik “negara Berau” yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bab dari “Negara Berau” (Berau bekas  vazal Banjar).

Setelah pengesahan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan mendapatkan status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau “wilayah otonom” di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.

Namun sekarang telah dibangun duplikat istana tersebut. Di belakang bangunan istana terdapat bangunan masjid bau tanah dan kuburan Datuk Djalaludin beserta keluarganya.
Artikel ini diambil dari
https://springocean83.wordpress.com/2014/03/31/istana-istana-kerajaan-di-indonesia-yang-masih-ada-di-pulau-borneo/
Follow My Instagram : brahmasujana 
like + subscribe youtube : https://www.youtube.com/channel/UCTl8PGi3IPV5hIg2PtqweoQ