Lokasi Keraton Demak dan Pulau Muria


Kerajaan Demak ialah kerajaan Islam pertama di Jawa dan ada sesudah era Kerajaan Majapahit. Sebagian raja Demak ialah turunan raja-raja Majapahit, termasuk Raden Patah –sang pendiri Kerajaan Demak.
 pada tahun 1515, Kerajaan Demak sudah berwilayah dari Demak hingga Cirebon. Pada tahun 1546, Kerajaan Demak sudah semakin luas wilayahnya termasuk Jambi, Palembang, Bangka, Banten, Sunda Kalapa, dan Panarukan di Jawa Timur. Tahun 1588 Demak lenyap dan penerusnya berganti ke Pajang yang merupakan pendahulu kerajaan/kesultanan di Yogyakarta dan Surakarta sekarang.




Runtuhnya Kerajaan Demak tak berbeda dengan penaklukannya atas Majapahit. Peristiwa gugurnya tokoh-tokoh penting Demak ketika menyerang Blambangan yang eks Majapahit, dan rongrongan dari dalam Demak sendiri membuat kerajaan makin lemah dan jadinya runtuh dengan sendirinya. Sebuah pelajaran dari sejarah –cerai-berai dari dalam akan membahayakan kesatuan dan persatuan.

Lokasi Keraton Demak
Lokasi bekas Keraton Kerajaan Demak belumlah ada akad di antara para ahli. Sekelompok mahir mengatakan bahwa letak lokasi keraton tersebut paling mungkin ada di daerah selatan alun-alun kota Demak sekarang dan menghadap ke utara. Di daerah selatan Demak ini terdapat suatu tempat berjulukan Sitinggil/Siti Hinggil–sebuah nama yang biasanya berasosiasi dengan keraton.
Namun kelompok mahir yang lain menentang pendapat tersebut, karena pada kala XV, yaitu ketika Kerajaan Demak ada, daerah Demak masih berupa rawa-rawa liar. Sangat tidak mungkin jikalau Raden Patah mendirikan kerajaannya di situ. Yang lebih mungkin, menurut kelompok ini, sentra Kerajaan Demak ada di wilayah sekitar Semarang yaitu Alastuwo, Kecamatan Genuk. Pendapat ini didukung oleh temuan benda-benda arkeologi.
Kedua pendapat di atas menarik diuji secara geologi karena keduanya mau tak mau melibatkan sebuah proses geologi berjulukan sedimentasi. Mari kita lihat sedikit proses sedimentasi di wilayah yang terkenal ini. Ya, wilayah ini dalam hal sedimentasi Kuarter, cukup terkenal. Ada pendapat bahwa dahulu kala Gunung Muria di sebelah utara Demak tidak menyatu dengan tanah Jawa, ia merupakan sebuah pulau volkanik yang kemudian jadinya menyatu dengan daratan Jawa oleh proses sedimentasi antara Demak-Muria.
Moh. Ali dalam bukunya “Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara”, menuliskan bahwa pada suatu peristiwa, Raden Patah diperintahkan oleh gurunya, Sunan Ampel dari Surabaya, biar merantau ke barat dan bermukim di sebuah tempat yang terlindung oleh tanaman gelagah wangi. Tanaman gelagah yang rimbun tentu hanya subur di daerah rawa-rawa. Dalam perantauannya itu, Raden Patah sampailah ke daerah rawa di tepi selatan Pulau Muryo (Muria), yaitu suatu daerah rawa-rawa besar yang menutup laut atau lebih sempurna sebuah selat yang memisahkan Pulau Muryo dengan daratan Jawa Tengah. Di situlah ditemukan gelagah bacin dan rawa; kemudian tempat tersebut dinamai Raden Patah sebagai “Demak”.



Menurut Slamet Muljana dalam bukunya, “Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit”, hutan di Gelagah Wangi itu dibuka dan dijadikan tempat hunian gres berjulukan “Bintara”. Dari nama wilayah gres itulah Raden Patah terkenal sebagai Pangeran Bintara. Slamet Muljana juga menulis bahwa Raden Patah (nama Tionghoanya Jin Bun – Raden Patah ialah anak raja Majapahit Prabu Brawijaya dan salah seorang istrinya yang disebut Putri Cina) memilih tinggal di daerah kosong dan berawa di sebelah timur Semarang, di kaki Gunung Muria. Daerah itu sangat subur dan strategis untuk menguasai pelayaran di pantai utara. Jin Bun berkedudukan di Demak. Di Demak, Jin Bun menjadi ulama sesuai pesan gurunya, Sunan Ampel. Ia mengumpulkan para pengikutnya baik dari masyarakat Jawa maupun Cina. Saat sebelum memberontak kepada Majapahit, Jin Bun atau Raden Patah ialah bupati yang ditempatkan di Demak atau Bintara.



Di sebelah baratlaut daerah ini nampak bukit Prawoto, sebuah tonjolan darat semacam semenanjung yang batuannya terdiri atas napal di Pegunungan Kendeng adegan tengah. Dalam sejarah Demak terdapat tokoh berjulukan Sunan Prawoto (Prawata) yaitu anak Pangeran Trenggono. Nama bergotong-royong ialah Mukmin, tetapi kemudian ia dijuluki Sunan Prawoto karena setiap animo penghujan, demi menghindari genangan di sekitar Demak, ia mengungsi ke pesanggrahan yang dibangun di bukit Prawoto. Sisa-sisa pesanggrahan tersebut masih menawarkan pernah adanya gapura dan sitinggil (siti hinggil) serta bak pemandian (De Graaf, 1954, “De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga”).
De Graaf dan Th. Pigeaud (1974), “De Eerste Moslimse Voorstendommen op Java” punya keterangan yang baik wacana lokasi Demak. Letak Demak cukup menguntungkan bagi acara perdagangan maupun pertanian. Selat yang memisahkan Jawa Tengah dan Pulau Muryo pada masa itu cukup lebar dan dapat dilayari dengan leluasa, sehingga dari Semarang melalui Demak perahu dapat berlayar hingga Rembang. Baru pada kala ke-17 selat tadi tidak dapat dilayari sepanjang tahun.



Pada kala ke-17 khususnya pada animo penghujan perahu-perahu kecil dapat berlayar dari Jepara menuju Pati yang terletak di tepi sungai Juwana. Pada tahun 1657, Tumenggung Pati mengumumkan bahwa ia bermaksud memerintahkan menggali susukan yang menghubungkan Demak dengan Pati sehingga dengan demikian Juwana dapat dijadikan sentra perniagaan.
Pada kala ke-16 Demak diduga menjadi sentra penyimpanan beras hasil pertanian dari daerah-daerah sepanjang Selat Muryo. Adapun Juwana pada sekitar tahun 1500 pernah pula berfungsi menyerupai Demak. Sehubungan itu, menurut laporan seorang pengelana gila terkenal di Indonesia ketika itu –Tom Pires, pada tahun 1513 Juwana dihancurkan oleh seorang panglima perang Majapahit dan Demak menjadi satu-satunya yang berperan untuk fungsi itu. Perhubungan Demak dengan daerah pedalaman Jawa Tengah ialah melalui Kali Serang yang muaranya terletak di antara Demak dan Jepara. Sampai hampir simpulan kala ke-18 Kali Serang dapat dilayari dengan kapal-kapal hingga pedalaman. Mata air Kali Serang terletak di Gunung Merbabu dan di Pegunungan Kendeng Tengah. Di sebelah selatan pegunungan tersebut terdapat bentangalam Pengging (di antara Boyolali dan Pajang/Kartasura).
Sedimen di Selat Muryo jadinya semakin banyak dan kemudian mendangkalkannya sehingga tak dapat lagi dilayari, pelabuhan Demak mati dan peranan pelabuhan diambil alih oleh Jepara yang letaknya di sisi barat Pulau Muryo. Pelabuhannya cukup baik dan aman dari gelombang besar karena terlindung oleh tiga pulau yang terletak di depan pelabuhan. Kapal-kapal dagang yang berlayar dari Maluku ke Malaka atau sebaliknya selalu berlabuh di Jepara.


Selat Muria ketika ini. Masih tampak bekasnya pada Google Earth

Jalan raya pantura yang menghubungkan Semarang-Demak-Kudus-Pati-Juwana sekarang sesungguhnya sempurna berada di atas Selat Muria yang dulu ramai dilayari kapal-kapal dagang yang melintas di antara Juwana dan Demak pada kala ke-15 dan ke-16. Bila Kali Serang, Kali Tuntang, dan Kali Juwana meluap, ke jalan-jalan inilah genangannya –tak mengherankan karena dulunya juga memang ke selat inilah air mengalir.
Bila kapan-kapan kita menggunakan kendaraan beroda empat melintasi jalan raya pantura antara Demak-Pati-Juwana-Rembang, ingatlah bahwa sekitar 500 tahun yang lalu jalan raya itu ialah sebuah selat yang ramai oleh kapal-kapal niaga Kerajaan Demak dan tetangganya.
Makara kraton kerajaan Demak memang besar kemungkinannya berada di Demak sekarang, bukan di daerah Semarang.