Misteri Pengendalian Jenazah Berjalan Di Tana Toraja



Gunung Sesean, Gunung sesean (tinggi sekitar 2100 mdpl) terletak Tana Toraja Sulawesi selatan, tepatnya di kecamatan Sesean, kabupaten Toraja Utara (sekarang Tana Toraja sudah dibagi menjadi 2 Kabupaten). masih menyimpan misteri. Ritual membangunkan mayat yang menjadi tradisi warga setempat masih menjadi kontradiksi sejumlah pihak. Pernahkah anda melihat bagaimana ritual masyarakat setempat membangkitkan mayat dari kuburan.

Tana Toraja merupakan daerah kabupaten yang berada sekitar 350 KM di utara ibukota Provinsi Sulawesi selatan, Makassar. Untuk menuju daerah ini, Anda sanggup menempuhnya baik lewat darat maupun udara. Dari Bandara Sultan Hasanuddin Makassar penerbangan ke Toraja memakan waktu sekitar 45 menit, sedangkan melalui jalur darat akan memakan waktu kurang lebih 8 jam dari Makassar.

Tana Toraja mempunyai alam dan Budaya yang khas, unik dan sangat jarang didapati di Indonesia.

Toraja yaitu sebuah suku yang menetap di pegunungan bab utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa dan sebagian masyarakatnya masih menganut kepercayaan animisme yang dikenal dengan kepercayaan Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bab dari Agama Hindu Dharma. Suku toraja juga masih kental dengan kebudayaan - kebudayaan mereka serta kisah-kisah spiritualnya.

Konon, disebuah desa silanang, kabupaten Tana Toraja, ditemukan sebuah kuburan masal. Kuburan masal itu terletak disebuah gua, dan penduduk setempat menyampaikan bahwa mayat yang disimpan disana tidak pernah membusuk dan berbau. Mayat - Mayat itu tidak diberi perlakuan khusus mirip proses pembalseman pada mumi mesir kuno. Menurut beberapa penelitian, hal ini dikarenakan ada semacam zat dari pohon disana yang bisa menyerap amis busuk tersebut dan juga menjauhkan dari serangga - serangga yang menyebabkan mayat cepat membusuk. Luar biasa...

Disamping kuburan yang asing itu, ada pula sebuah kisah mengenai mayat berjalan yang dikendalikan oleh seorang pawang. Mayat itu dikatakan berjalan layaknya orang yang masih hidup, hanya saja cara berjalannya agak terseok - seok. Mayat itu dikendalikan dengan tujuan untuk menuntunnya kembali ke tujuan akhirnya, yaitu rumahnya sendiri. Diceritakan dahulu orang Toraja bahagia menjelajahi daerah - daerah pegunungan. Mereka tidak memakai alat transportasi apapun ketika menjelajah. Dalam penjelajahan yang berat itu, beberapa orang tidak berpengaruh untuk melanjutkan lagi dan jatuh sakit. Karena bekal dan obat - obatan yang dibawa sangat minim, anggota mereka yang sakit tadi karenanya meninggal.

Karena tidak mungkin untuk meninggalkan mayat rekan mereka, dan akan sangat merepotkan bila harus membawa pulang jenazahnya, maka dengan suatu ritual gaib, mereka membangkitkan mayat tersebut dan mengendalikannya. Mereka menuntun mayat itu hingga ke rumahnya. Ada pantangan yang dilarang dilakukan selama mayat itu belum hingga di rumahya, mayat dilarang disentuh, kalau dilakukan, maka mantra yang ada pada sang mayat akan hilang.



Akan tetapi, dari semua artikel yang memuat informasi ihwal kisah ini, kami hanya menemukan foto yang menyampaikan seseorang sedang memegang tangan orang yang diduga telah meninggal. Gambarnya memang menyeramkan, tapi anehnya tak banyak foto yang beredar di internet mengenai kisah mayat berjalan ini.Akan tetapi, dari semua artikel yang memuat informasi ihwal kisah ini, kami hanya menemukan foto yang menyampaikan seseorang sedang memegang tangan orang yang diduga telah meninggal. Gambarnya memang menyeramkan, tapi anehnya tak banyak foto yang beredar di internet mengenai kisah mayat berjalan ini.

Jika memang mayat berjalan ini benar - benar ada, seharusnya foto yang tersedia di internet lebih banyak lagi, ataukah memang ada peraturan yang melarang hal ini untuk diabadikan lewat foto? Atau ada alasan lainnya? Sebenarnya, kami pun juga belum bisa memastikan apakah kisah ini HOAX atau memang ini yaitu aktifitas mistik yang benar terjadi.

Walking Dead Zombie in Real World

Upacara ajal Tana Toraja

Tana Toraja mempunyai tradisi upacara pemakaman yang rumit. Upacara yang disebut dengan Rambu Solo ini yaitu sebuah upacara pemakaman secara susila yang mengharuskan pihak keluarga mengadakan sebuah pesta sebagai penghormatan terakhir bagi sang mendiang.



Upacara Rambu Solo ini dikatakan upacara yang rumit alasannya yaitu mempunyai sejumlah tingkatan sesuai dengan status sosial mendiang dan keluarganya. Biasanya mayat tadi disertai pula dengan patung yang menggambarkan diri sang mendiang. Patung ini disebut tau - tau. Kemudian, pada prosesi terakhir, mayat tadi dibawa ke tebing dan diletakkan di dinding tebing begitu saja. Dan ajaibnya, mirip sepenggal kisah diatas, mayat yang diletakkan di dinding itu tidak mengeluarkan amis busuk.Upacara Rambu Solo ini dikatakan upacara yang rumit alasannya yaitu mempunyai sejumlah tingkatan sesuai dengan status sosial mendiang dan keluarganya.

Biasanya mayat tadi disertai pula dengan patung yang menggambarkan diri sang mendiang. Patung ini disebut tau - tau. Kemudian, pada prosesi terakhir, mayat tadi dibawa ke tebing dan diletakkan di dinding tebing begitu saja. Dan ajaibnya, mirip sepenggal kisah diatas, mayat yang diletakkan di dinding itu tidak mengeluarkan amis busuk.





Menurut fatwa Aluk Todolo (kepercayaan masyarakat setempat), rumah susila toraja yang berjulukan Tongkonan itu mempunyai makna khusus. Menurut mereka, insan yang hidup maupun yang telah meninggal itu sama saja. Jika masyarakat yang masih hidup berkumpul di dalam rumah mereka, yaitu Tongkonan, maka mereka yang telah meninggal berkumpul di tempat yang khusus dibentuk sebagai "pasangan" Tongkonan yang disebut Liang.

Ma Nene, Ritual Unik Suku Toraja

Ma'nene, Tradisi Mengganti Pakaian Baru Mayat di Toraja

Tana Toraja di Sulawesi Selatan sudah usang populer dengan alam pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo

yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.



Selain Rambu Solo, bekerjsama ada satu ritual susila nan langka di Toraja, yakni Ma Nene, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana mayat leluhur. Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara sebuah kabupaten baru. Biasanya, Ma Nene digelar tiap bulan Agustus.

Saat Ma Nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang tua, dikeluarkan dari makam-makam dan liang watu dan diletakkan di arena upacara. Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara perlahan, mereka mengeluarkan mayat (baik yang masih utuh maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang menempel di badan mayat dengan yang baru.

Mereka memperlakukan sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bab keluarga besar.

Ritual Ma Nene oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai wujud kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.

Dari mana asal muasal ritual Ma Nene di Baruppu? Kisah bebuyutan menyebutkan, pada zaman dahulu terdapatlah seorang pemburu binatang berjulukan Pong Rumasek. Saat sedang berburu di daerah hutan pegunungan Balla, bukannya menemukan binatang hutan, ia malah menemukan jasad seseorang yang telah usang meninggal dunia. Mayat itu tergeletak di bawah pepohonan, telantar, tinggal tulang-belulang.

Merasa kasihan, Pong Rumasek kemudian merawat mayat itu semampunya. Dibungkusnya tulang-belulang itu dengan baju yang dipakainya, kemudian diletakkan di areal yang lapang dan layak. Setelah itu, Pong Rumasek melanjutkan perburuannya.

Tak dinyana, sejak bencana itu, setiap kali Pong Rumasek berburu, ia selalu beroleh hasil yang besar. Binatang hutan seakan digiring ke dirinya. Bukan hanya itu, sesampainya di rumah, Pong Rumasek mendapati flora padi di sawahnya pun sudah menguning, bernas dan siap panen sebelum waktunya.

Pong Rumasek menganggap, segenap peruntungan itu diperolehnya berkat welas asih yang ditunjukkannya ketika merawat mayat tak berjulukan yang ditemukannya ketika berburu.

Sejak itulah, Pong Rumasek dan masyarakat Baruppu memuliakan mayat para leluhur, tokoh dan kerabat dengan upacara Ma Nene.

Dalam ritual Ma Nene juga ada hukum tak tertulis yang mengikat warga. Misalnya, kalau seorang istri atau suami meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma Nene untuknya.

Ketika Ma Nene digelar, para perantau asal Baruppu yang bertebaran ke seantero negeri akan mudik demi menghormati leluhurnya. Warga Baruppu percaya, kalau Ma Nene tidak digelar maka leluhur juga akan luput menjaga mereka. Musibah akan melanda, penyakit akan menimpa warga, sawah dan kebun tak akan menghasilkan padi yang bernas dan flora yang subur.



Jika ingin mengunjungi kompleks watu megalit, maka berkunjunglah ke Bori’ yang masih berada di daerah Sesean. Ini yaitu tempat pertama yang kami kunjungi di hari terakhir sebelum kami balik ke makassar malam harinya. Di sini terdapat 102 watu megalit atau menhir.



Kompleks megalit ini nampaknya kurang terawat dengan baik. Banyak kotoran binatang disekitar menhir. Papan petunjuknya pun sudah roboh ketika kami masuk ke dalam.



Jika berjalan masuk ke dalam, kita akan menemui kuburan yang dipahat dalam batu. Yang unik dari kuburan itu yaitu batunya. Batu yang digunakan untuk menyimpan mayat yaitu watu alami dan tidak mengecewakan besar ukurannya. Satu buah watu terdapat beberapa kuburan dan biasanya satu keluarga dikuburkan dalam watu yang sama dari nenek luhur hingga anak cucu keturunannya.



Disini juga terdapat Baby Grave (Kuburan Bayi) yang dikuburkan dalam pohon. Bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh di kuburkan didalam pohon Tarra’. Pohon Tarra’ dijadikan sebagai pekuburan alasannya yaitu pohon ini mempunyai banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dan masyarakat Toraja mengganggap seperti bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya. Dan berharap pengembalian bayi ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi – bayi yang lahir kemudian. Pohon Tarra’ yang dijadikan sebagai pekuburan berdiameter 80-100 bayi cm bahkan hingga 300 cm. Bayi yang dikuburkan tidak dibungkus dengan kain menyerupai bayi dalam rahim dan kemudian di tutup dengan ijuk pohon enau. Pemakaman mirip ini hanya dilakukan oleh orang Toraja penganut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Setelah puluhan tahun bayi tersebut akan menyatu dengan pohon.